KETIKA ISTRI MENOLAK AJAKAN SUAMI

Jangan tanya dampak jelek dari tidak maunya seorang istri ketika diajak suaminya untuk melakukan hubungan intim yang dialami oleh orang-orang awam, dari mulai sebab suaminya memilih untuk selingkuh, zina, sampai menggauli anak tirinya sendiri dan dampak buruk yang lainnya. –naudzubillah-. Bahkan sebagain dari orang yang mulai mengenal sunnah namun karena jauhnya dari ilmu yang terkait dengan kehidupan rumah tangga atau karena meremehkan masalah ini akhirnya berdampak jelek juga bagi mereka. Seorang ikhwan pernah mengadukan permasalahnnya yang terpancing emosi sehingga menjatuhkan talak karena kesal dengan istrinya akibat menolak diajak untuk melakukan hubungan suami istri dan dampak jelek serta buruk lainnya yang mereka alami. Seharusnya seorang istri sadar bahwasannya hal tersebut termasuk hak suami yang harus dia tunaikan bahkan diantara hak terbesar suami. Apa lagi sang suami menghadapi fitnah syahwat yang luar biasa dari para wanita yang bertebaran dimana-mana dengan membuka aurat, berpakaian tetapi telanjang dan dengan kegenitannya serta tanpa rasa malu berani mendekati laki-laki. Tidak ingatkah kalian wahai para istri tentang sebuah hadits semoga menjadi sebab engkau tersadar tentang betapa besar fitnah yang dihadapi oleh suamimu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidak aku tinggalkan sesudahku sebuah fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki daripada fitnah wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits yang lain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِى صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِى صُورَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِى نَفْسِهِ

“Sesungguhnya wanita itu datang dalam bentuk setan, dan berbalik dalam bentuk setan pula apabila salah seorang dari kalian terpesona melihat wanita maka datangilah istrinya. Sesungguhnya hal itu akan menolak gejolak yang ada dijiwanya.” (HR. Muslim)

Lalu bagaimana jadinya jika ketika sang suami ingin menyalurkan kebutuhan biologisnya, disamping itu untuk menjaga dirinya dari fitnah ternyata ketika dirinya mengajak istrinya lalu istrinya menolaknya, jelas hal ini akan menimbulkan fitnah untuk suaminya, dan kerusakkan untuk rumah tangganya. Namun karena jauhnya sebagian dari istri kaum muslimin dari masalah ini sehingga menjadi sebab mereka terjatuh kepada dosa penolakkan ajakan suami ketika diajak untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Apabila seorang laki-laki mengajak istrinya ke ranjangnya, lalu istri tidak mendatanginya, hingga dia (suaminya –ed) bermalam dalam keadaan marah kepadanya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi tiba.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Seharusnya yang dialkukan istri adalah memenuhi ajakan suaminya ketika dirinya diajak berhubungan suami istri.

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ ، وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّورِ

“Jika seorang laki-laki mengajak istrinya untuk menyalurkan hajatnya (kebutuhan biologisnya -ed), maka hendaklah ia mendatangi suaminya, meskipun dia sedang berada di tungku perapian.” (HR. Ibnu Syaibah, at-Tirmidzi, ath-Thabarani dan berkata at-Tirmidzi Hadits Hasan Gharib, dan dishahihkan Ibnu Hibban no 4165)

Berkata al-Imam Syaukani rahimahullah, tentang hadits diatas: “Kalau dalam keadaan seperti itu saja tidak boleh seorang istri menyelisihi suami, tidak boleh tidak memenuhi ajakan suami sedangkan dia dalam keadaan seperti itu, maka bagaimana dibolehkan untuk menyelisihi suami selain dari kondisi itu.” (Silahkan Lihat Nailul Authaar:269/231)

Ingatlah wahai istri tentang hak suami kalian yang begitu besar, dimana Rasulullah shallallahu ‘laihi wasallam bersabda: “Kalau sendainya aku boleh menyuruh seorang untuk bersujud kepada orang lain, maka niscaya aku perintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya” (HR. Abu Dawud, al-Hakim dan at-Tirmidzi menshahihkannya)

Namun dalam agama kita tidak boleh seseorang sujud kepada orang lain. Hadits diatas menunjukkan betapa besar kedudukan seorang suami disisi istrinya.

Wahai para istri perhatikanlah masalah ini jika kalian menginginkan kebaikkan untuk suami yang kalian cintai, kebaikkan untuk diri kalian dan rumah tangga kalian. Jangan sampai kalian menyesal setelah terjadi sesuatu yang tidak baik terhadap suami kalian, atau diri kalian atau rumah tangga kalian.

ditulis oleh: Abdullah al-Jakarty

____________________

HARTA GONO GINI DALAM ISLAM

Harta gono-gini adalah harta milik bersama dari suami dan istri yang mereka peroleh selama perkawinan. Demikianlah pengertian harta gono-gini yang sesuai dengan pasal 35 UU Perkawinan di Indonesia.

Hal ini karena harta dalam sebuah keluarga mempunyai tiga kemungkinan :

1. Harta milik suami saja.

Yaitu harta yang dimiliki oleh suami tanpa ada sedikit pun kepemilikan istri pada harta itu. Misalnya harta suami sebelum menikah, atau harta yang diperoleh dari hasil kerja suami dan tidak diberikan sebagai nafkah kepada istrinya, atau harta yang dihibahkan orang lain kepada suami secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.

2. Harta milik istri saja.

Yaitu harta yang dimiliki oleh istri saja tanpa ada sedikit pun kepemilikan suami pada harta itu. Misalnya harta milik istri sebelum menikah, atau harta hasil kerja yang diperoleh dari istri tanpa harus mengganggu kewajibannya sebagai istri, atau harta yang dihibahkan orang lain khusus untuknya, atau harta yang diwariskan kepada istri, dan lain-lain.

3. Harta milik bersama.

Misalnya harta yang dihibahkan seseorang kepada suami istri, atau harta benda semisal rumah, tanah, atau lainnya yang dibeli dari uang mereka berdua, atau harta yang mereka peroleh setelah menikah dan suami serta istri sama-sama kerja yang menghasilkan pendapatan dan sebagainya.

Yang ketiga inilah yang kemudian di istilahkan dengan harta gono-gini. Namun harta yang diperoleh sebuah keluarga tidak mesti secara langsung otomatis menjadi harta gono-gini.

Perinciannya sebagai berikut :
Secara umum, suamilah yang bekerja dan bertanggung jawab atas nafkah dan ekonomi keluarga. Ini banyak disebutkan oleh Allah dan Rasul-Nya. (di antaranya dalam QS. Ath Thalaq:7).

– Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti Utbah berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang sangat pelit. Dia tidak memberi harta yang cukup untukku dan anakku, kecuali apa yang saya ambil sendiri tanpa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah bersabda, “Ambillah yang cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Bukhari no.5364 dan Muslim no.1714).

– Dari Hakim bin Mu’awiyah dari bapaknya berkata, Saya bertanya, “Ya Rasulullah apakah hak istri kami ?” Beliau bersabda : “Engkau memberinya makan jika kamu makan, engkau memberinya pakaian jika kamu berpakaian.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Al-Irwa’: 2033)

Adapun istri, maka aktivitasnya ada dua kemungkinan :

1. Sama sekali tidak mempunyai aktivitas yang bernilai ekonomis. Jika demikian, maka harta dalam keluarga tersebut adalah harta suami, dan tidak ada harta gono-gini. Karena memang tidak ada andil istri dalam harta tersebut.

2. Jika istri memiliki aktivitas yang bernilai ekonomis. Seperti dia bekerja sendiri, atau membantu suami dalam pekerja’anya, atau menjadi partner kerja bagi suami, atau yang semisalnya, maka dalam kondisi inilah harta dalam sebuah keluarga tersebut ada yang disebut harta gono-gini.

Namun satu masalah harus dipahami, bahwa harta suami tidak utuh, tapi berkurang dengan beberapa kewajibannya sebagai suami. Seperti memberi mahar istrinya, menunaikan kewajiban nafkah pada istri dan anaknya, yang meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan anak-anak dan lainnya.

Sedangkan harta istri tetap utuh, karena tidak ada kewajiban baginya untuk memberikan nafkah kepada suami dan anak-anaknya. Kecuali apabila dengan keridhaan dirinya, dia memberikan untuk suami dan anak-anaknya. Dan itu menjadi sedekah baginya.

* Hukum Syar’i Tentang Harta Gono-Gini

Jika telah diapahami permasalahan di atas, maka bagaimanakah status harta gono-gini ini, jika terjadi pisah antara suami istri, baik pisah karena wafat atau karena cerai ?

Syariat tidak membagi harta gono-gini ini dengan bagian masing-masing secara pasti, misalnya istri 50% dan suami 50%. Sebab, tidak ada nash yang mewajibkan demikian. baik dari Alquran maupun sunah.

Namun pembagiannya bisa ditinjau dari beberapa kemungkinan :

1. Jika diketahui secara pasti perhitungan harta suami dan istri Yaitu hasil kerja suami di ketahui secara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya, demikian juga hasil kerja istri diketahui dengan pasti. Maka perhitungan harta gono- gininya sangat jelas, yaitu sesuai denga perhitungan tersebut.

2. Jika tidak diketahui perhitungan harta suami istri, karena suami istri sama-sama kerja atau saling bekerja sama dalam membangun ekonomi keluarga. Dan kebutuhan keluarga pun ditanggung berdua dari hasil kerja mereka. sehingga sisanya berapa bagian dari harta suami dan berapa bagian dari harta istri tidak jelas.

Dan inilah gambaran kebanyakan keluarga di negeri Indonesia. Dalam kondisi demikian, harta gono-gini tersebut tidak mungkin dibagi kecuali dengan jalan sulh, ‘urf atau qadha (putusan).

Sulh adalah kesepakatan antara suami istri berdasarkan musyawarah atas dasar saling ridha.

Dalil pensyariatan perdamaian suami istri antara lain :

Dari Katsir bin Abdillah bin Amr bin Auf al-Muzani, dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berdamai itu boleh dilakukan antara kaum muslimin, kecuali sebuah perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum muslimin itu tergantung pada syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi no.1370, Ahmad 2:366, dan Abu Dawud no. 3594).

Sa’at menerangkan hadits di atas, ash-Shan’ani berkata : “Para ulama telah membagi ash-shulh (perdamaian) menjadi beberapa macam, perdamaian antara muslim dan kafir, perdamaian antara suami dan istri, perdamaian antara kelompok yang bughat (zalim) dan kelompok yang adil, perdamaian antara dua orang yang mengadukan permasalahan kepada hakim, perdamaian dalam masalah tindak pelukaan seperti pemberian maaf untuk sanksi harta yang mestinya diberikan, dan perdamaian untuk memberikan sejumlah harta milik bersama dan hak-hak.

Pembagian inilah yang dimaksud di sini, yakni pembagian yang disebut oleh para ahli fiqih dengan ash-shulh (perdamaian). Dengan demikian berdasarkan dalil hadis Amr bin Auf al-Muzani di atas, jika suami istri berpisah dan hendak membagi harta gono-gini di antara mereka, dapat ditempuh jalan perdamaian (ash-shulh).

Sebab, salah satu jenis perdamaian adalah perdamaian antara suami istri, atau perdamaian tatkala ada persengketa’an mengenai harta bersama. Dengan jalan perdamaian ini, pembagian harta gono-gini bergantung pada musyawarah antara suami istri. Bisa jadi suami mendapat 50% dan istri 50% atau suami mendapat 30% dan istri 70%, pun suami bisa mendapat 70% dan istri 30%, dan boleh pula pembagian dengan nisbah (prosentase) yang lain. Semuanya dibenarkan syara’, selama merupakan hasil dari perdamaian yang telah ditempuh berdasarkan kerelaan masing- masing.

Memang, dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang diterapkan dalam Peradilan Agama, harta gono-gini antar suami istri tidaklah dibagi kecuali masing- masing mendapat 50%.

Dalam pasal 97 KHI disebutkan :
“Janda atau duda cerai hidup, masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.

Namun ketentuan dalam KHI ini bukanlah suatu putusan hukum yang paten, jika suami istri sepakat membagi harta dengan prosentase tertentu, maka kesepakatan dan keridhaan mereka didahulukan.

‘Urf, merupakan adat kebiasaan yang berlaku di sebuah masyarakat, sehingga itu menjadi hukum di masyarakat tersebut. Para ulama sepakat ‘urf bisa dijadikan salah satu acuan hukum.

Dalam salah satu kaidah fikih disebutkan, “Sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran hukum.”

Dengan syarat :

1. ‘Urf itu berlaku umum.
2. Tidak bertentangan dengan nash syar’i.
3. ‘Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah kebiasaan yang baru saja terjadi.
4. Tidak berbenturan dengan tashrih.

Jadi, jika dalam masalah harta gono-gini tidak ada kesepakatan antara suami istri, maka dilihat apakah dalam masyarakat tersebut ada ‘urf yang berlaku tentang permasalahan harta gono-gini atau tidak. Jika ada, itulah yang diberlakukan.
Wallahu a‘lam.

Qadha, jika tidak ada sulh dan ‘urf, barulah masuk dalam sistem terakhir, yaitu qadha.

Qadha sendiri adalah keputusan yang ditetapkan oleh hakim setempat tentang masalah yang disampaikan kepadanya. Dalam kondisi ini seorang hakim harus melihat kepada kondisi suami istri tersebut, untuk bisa menentukan pembagian harta gono-gini secara baik. Dan dalam kondisi ini boleh bagi hakim untuk menggunakan hukum perdata yang berlaku di peradilan, selagi tidak bertentangan dengan hukum syariat Islam.

Wallahu a’lam.

Oleh Ustadz Ahmad Sabiq, Lc. Ditulis ulang dari Majalah Al Furqon Vol. 55.

http://www.konsultasisyariah.com/teka-teki-harta-gono-gini/

__________________________

GODA’AN TERBERAT ADALAH WANITA

Di antara bentuk goda’an berupa harta, tahta dan wanita (HARTAWAN), maka goda’an wanitalah yang paling dahsyat dalam melunturkan pertapa’an seorang ksatria (laki laki). Betapa banyak pembesar yang jatuh tersungkur karena wanita, berapa banyak keluarga yang runtuh porak poranda sebab wanita.

Wanita yang dimaksudkan tentu saja bukan semua wanita, melainkan wanita yang jauh dari agama, wanita yang memiliki akhlak tercela, Terhadap wanita yang seperti inilah, kaum laki laki harus hati-hati dan extra waspada. http://www.ingatbangnapi.com.

Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan umatnya : “Sepeninggalku, tidak ada coba’an yang lebih berbahaya bagi pria daripada goda’an wanita.” (HR Bukhari).

Sejumlah ulama mengatakan bahwasanya wanita lebih berbahaya daripada tipu daya setan.

Tentang tipu daya setan Allah ta’ala berrfirman : “Karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah”. (QS. an-Nisaa’: 76).

Sedangkan mengenai goda’an wanita , Allah Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya tipu daya mereka itu sangat besar”. (QS. Yusuf ayat: 28).

Dari kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa bahaya wanita (yng tercela) lebih bahaya daripada tipu daya setan. Sudah menjadi sunnatullah jika wanita menempati posisi pertama dihati laki-laki.

Dalam Surat Ali-Imran ayat 14 Allah menyebut para wanita pada posisi pertama dalam kecenderungan hati laki laki, lebih dulu dibandingkan anak dan harta. wanita memang menjadi goda’an terberat bagi laki-laki. Banyak pria yang mampu menahan diri dari goda’an harta dan jabatan, tapi tidak mampu menahan diri dari goda’an wanita.

Semua laki-laki punya rasa ketertarikan kepada wanita, rasa itu tidak memandang orang kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, bahkan ulama ataupun orang awam, semuanya punya ketertarikan kepada wanita, wanita menjadi goda’an terberat bagi pria. Walaupun kita melihat orang yang tampak alim, secara kasat mata, namun tidak ada jaminan hatinya bebas dari goda’an wanita, Hanya atas pertolongan Allah Ta’ala, seorang pria akan mampu terbebas dari bahayanya goda’an wanita.

Wanita begitu menggoda dan menarik bagi laki-laki, bahkan Nabi Adam yang berada di surga yang penuh dengan kenikmatan dan kesenangan, baru merasa lengkap kenikmatannya ketika diciptakannya siti hawa, Bagi para pria supaya tidak tergoda oleh wanita (yng tercela) yang tidak halal baginya, maka ada beberapa hal yng harus di lakukan, diantaranya :

– Menundukan pandangan
– Tidak berkhalwat / berdua’an
– Selalu mengingat Allah Ta’ala / berdzikir.

Wassalam

__________________

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI

Keluarga diibaratkan seperti batu bata pertama dalam sebuah bangunan masyarakat. Apabila keluarga baik, maka masyarakat pun akan ikut menjadi baik dan sebaliknya jika keluarga rusak, maka masyarakat akan menjadi rusak pula.

Oleh karena itu, Islam memberi kan perhatian kepada urusan keluarga dengan perhatian yang sangat besar, sebagaimana Islam juga mengatur hal-hal yang dapat menjamin keselamatan dan kebahagiaan keluarga tersebut.

Islam mengibaratkan keluarga seperti suatu lembaga yang berdiri di atas suatu kerjasama antara dua orang.

Penanggung jawab yang pertama dalam kerjasama tersebut adalah suami. Allah berfirman : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang shalih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). ” [An- Nisaa’: 34]

Islam menentukan hak-hak di antara keduanya yang dengan menjalankan hak-hak tersebut, maka akan tercapai ketenteraman dan keberlangsungan rumah tangga.

Islam menyuruh keduanya agar menunaikan apa yang menjadi kewajibannya dan tidak mempermasalahkan beberapa kesalahan kecil yang mungkin saja terjadi.

* Hak-Hak Isteri Atas Suami

Allah Ta’ala berfirman : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri- isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. ” [Ar-Ruum:21]

Rasa cinta dan kasih sayang yang terjadi di antara suami isteri nyaris tidak dapat ditemukan di antara dua orang mukmin.

Allah Subhanahu wa Ta’ala akan senang jika cinta dan kasih sayang tersebut selalu ada dan langgeng pada setiap pasangan suami isteri.

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menentu kan beberapa hak bagi mereka yang dapat menjaga dan memelihara rasa cinta dan kasih sayang tersebut dari kesirnaan.

Allah Ta’ala berfirman : “Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” [Al-Baqarah: 228]

Hal ini merupakan suatu kaidah menyeluruh yang mengatakan bahwasanya seorang wanita memiliki kesamaan dengan laki- laki dalam semua hak, kecuali satu perkara yang diungkap kan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan firman-Nya :
“Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya.” [Al-Baqarah:228]

Dan hak-hak isteri maupun kewajiban-kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf telah diketahui di kalangan masyarakat dan apa yang berlaku pada ‘urf (kebiasaan) masyarakat itu mengikuti syari’at, keyakinan, adab dan kebiasaan mereka.

Hal ini akan menjadi tolak ukur pertimbangan bagi suami dalam memperlakukan isterinya dalam keadaan apa pun. Jika ingin meminta sesuatu kepada isterinya, suami akan ingat bahwa sesungguhnya ia mempunyai kewajiban untuk memberikan kepada isteri sesuatu yang semisal dengan apa yang ia minta.

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata :
“Sesungguhnya aku berhias diri untuk isteriku sebagaimana ia menghias diri untukku.” [1]

Seorang mukmin yang hakiki akan mengakui adanya hak-hak bagi isterinya, sebagaimana firman Allah Ta’ala : “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.”

http://almanhaj.or.id/content/1190/slash/0/hak-hak-isteri-atas-suami/

——————